Setiap orang dalam kehidupan yang fana ini, mempunyai fungsi kepemimpinan,
menjadi pemimpin di lingkungannya masing-masing. Mengingat besarnya tanggung
jawab menjadi pemimpin di dalam lingkungan masing-masing, sesuai dengan ruang
lingkup dan daerah teritorial masing-mssing, maka syarat-syarat, sifat-sifat
dan akhlak untuk menjadi pemimpin haruslah dimiliki dan dikembangkan.
Pada kesempatan ini, ingin kita uraikan akhlak
daripada kepemimpinan yang diperlukan, yang dituangkan oleh khalifah pertama
Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, tatkala beliau dilantik menjadi kepala pemerintahan
setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat. Pidato tersebut adalah sebagai
berikut:
Saudaraku sekalian.., sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan
atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian, maka jika aku
berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah
aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan. Orang
yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat
mengembalikan haknya kepadanya Insya Allah. Sebaliknya siapa yang kuat di
antara kalian maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil
darinya hak milik orang lain yang diambilnya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan
jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka suatu kehinaan,
dan tidaklah suatu kekejian menyebar di tengah suatu kaum kecuali adzab Allah
akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut. Patuhilah aku selama aku mematuhi
Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mematuhi keduanya maka tiada
kewajiban taat atas kalian terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk
melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian… (Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyah
4/413-414, tahqiq Hamma Sa’id dan Muhammad Abu Suailik)
Dari pidato kenegaraaan khalifah yang pertama itu, dapat disimpulkan 7
macam akhlak kepemimpinan yang perlu dipersunting oleh setiap orang yang akan
memegang pimpinan. Dan juga bagi yang memegang pimpinan yang bertanggung jawab,
baik pemimpin lingkungan maupun masyarakat, terlebih pemimpin Negara.
Marilah kita uraikan tujuh akhlak atau sifat tersebut satu persatu.
1. Sifat Rendah
Hati.
Banyak para pemimpin yang mulanya dekat dengan rakyat, turun ke bawah,
integrasi kepada kaum yang lemah, tapi begitu mempunyai kedudukan, timbullah
apa yang disebutkan dalam peribahasa “Kalau hari sudah panas, kacang lupa kulitnya”. Sifat sombong,
congkak, tinggi hati sudah mulai nampak, bukan hanya sekedar itu saja,
terkadang dia sampai hati menginjak duduk orang yang telah mengorbitkannya atau
menaikkannya. Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu menyatakan bahwa pada hakekatnya
kedudukan pemimpin tidak berbeda daripada rakyat biasa, bukan karena ia orang
istimewa. Tapi hanya sekedar orang yang didahulukan selangkah, yang mendapatkan
kepercayaan dan dukungan orang banyak. Di atas pundaknya terpikul satu tanggung
jawab yang besar dan berat baik terhadap umat, masyarakat pada umumnya,
terlebih lagi terhadap Allah Ta’ala. Sifat rendah hati bukanlah merendahkan kedudukan
seorang pemimpin, malah sebaliknya akan mengangkat derajatnya, martabatnya
dalam pandangan masyarakat dan orang banyak.
2. Mengharapkan
Dukungan dan Bersifat Terbuka untuk Dikritik.
Setiap pemimpin memerlukan dukungan dan partisipasi rakyat banyak.
Bagaimanapun kemampuannya ia tak akan bisa melaksanakan tugas-tugasnya tanpa
partisipasi orang banyak. Jika orang banyak tersebut bersifat apatis, tak mau
tahu, masa bodoh terhadap segala anjuran dan tindakannya, maka hal yang
demikian merupakan tantangan yang berat. Oleh sebab itulah, seorang pemimpin
harus terbuka untuk menerima kritik, asal saja sifat kritik itu sehat dan
membangun. Janganlah orang yang melontarkan kritik tersebut dianggap sebagai
lawan yang perlu dibungkam. Bahkan orang yang berani mengungkapkan kritik,
menunjukkan kesalahan, kekurangan seorang pemimpin, justru itulah yang
merupakan pastisipasi sejati.
3. Sifat Jujur dan
Memegang Amanah.
Sifat amanah yaitu dipercaya. Dan memelihara kepercayaan orang banyak
adalah salah satu sifat kepemimpinan Islam yang penting. Islam mewajibkan
kepada setiap muslim dan muslimah untuk menjaga dan memelihara amanah. Seperti
yang dijelaskan di dalam al-Qur’anul karim.
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ
إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ
إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً
(النساء: 58)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa’: 58)
Secara garis besar, ruang lingkup pemeliharaan amanah terbagi menjadi
tiga. Pertama, amanah terhadap Allah Ta’ala. Kedua, amanah terhadap sesama
makhluk terutama kepada manusia. Ketiga, amanah terhadap diri sendiri.
Memelihara amanah merupakan urat nadi antar hubungan. Apabila amanah itu
rusak, maka terurailah segala ikatan, hubungan, putuslah tali temali tujuan yang
baik, tata susunan kehidupan akan berantakan, dan pembinaan masyarakat insani
akan mengalami kehancuran. Penyelewengan terhadap suatu amanah bukan saja
merugikan orang yang terkena penyelewengan tersebut, tetapi akan mempunyai
akibat mata rantai yang buruk di dalam kehidupan masyarakat. Dalam pengertian
memelihara amanah adalah menyerahkan sesuatu urusan atau tanggungjawab kepada
orang-orang yang mampu dan cakap, serta memenuhi persyaratan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu dia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ
إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
“Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat.” Dia (Abu Hurairah) bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?’ Beliau menjawab: ‘Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari
Kiamat!.” (Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq,
bab Raf’ul Amaanah (XI/333, dalam
al-Fat-hul)
Sebab itu, seorang pemimpin harus berlaku jujur. Imam Al-Ghazali membagi
sifat jujur menjadi enam macam; jujur dalam perkataan, kemauan, niat, memenuhi
tekad, perbuatan, menegakkan kebenaran serta menjalankan syare’at Islam.
4. Berlaku Adil.
Adil ialah menimbang dan memperlakukan sesuatu dengan cara yang sama dan
serupa, tidak pincang dan berat sebelah. Lawannya adalah zhalim. Islam
meletakkan soal menegakkan keadilan dan menjauhi kezhaliman sebagai satu sikap
hidup yang esensial. Allah Ta’ala memerintahkan sesara umum di dalam alquran:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (النحل:90)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)
Keadilah haruslah diterapkan dalam segala bidang kehidupan tanpa memandang
orangnya, bahkan juga harus berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Abu Bakar
Ash-Shiddiq menegaskan bahwa orang yang lemah haruslah dibela dan dilindungi.
Orang-orang yang kuat tidak boleh berlaku kejam dan sewenang-wenang.
5. Komitmen dalam
Perjuangan.
Seorang pemimpin haruslah bersikap konsisten dalam perjuangan. Yaitu terus
menerus dan lestari dalam berjuang. Jangan acak-acakkan, pada satu waktu
semangat tak kunjung padam dan tak kenal menyerah, tapi pada waktu yang lain
mlempem dan mudah dijinakkan. Dalam suatu perjuangan menegakkan cita-cita dan
kebenaran, pasti akan berjumpa dengan halangan dan tantangan. Halangan tersebut
haruslah diatasi, jangan hanya dielakkan, terlebih mundur dan meninggalkan
medan perjuangan, hilang tak tentu rimbanya. Disinyalir oleh khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq dalam pidatonya di atas, bahwa orang yang meninggalkan medan juang,
apalagi kalau sampai berkhianat, maka ia akan ditimpa kehinaan seumur hidupnya.
6. Ditaati dan
Bersikap Proporsional.
Seorang pemimpin haruslah mengabdikan dirinya kepada misi yang
dipercayakan di atas pundaknya. Ia harus mempunyai wibawa terhadap umat yang
dipimpinnya, dipatuhi. Jangan ketika berhadap-hadapan muka pengikutnya
mengangguk-anggukan kepala dan mengatakan “ya”, karena takut. Sedang apabila di
belakangnya mereka mengatakan “tidak”. Seorang pemimpin harus bersedia dan siap mundur apabila
ia melakukan penyelewengan. Jangan terus menerus mempertahankan kedudukannya.
7. Berbakti dan
Mengabdi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kepemimpinan bersifat manusiawi, mempunyai kekurangan-kekurangan disamping
juga mempunyai kelebihan-kelebihan yang menentukan pada tingkat terakhir yaitu
petunjuk ilahi dan garis-garis yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, seorang
pemimpin harus senantiasa menghubungkan dirinya kepada Allah, berbakti
kepada-Nya, melaksanakan segala sesuatu yang diridhai-Nya dan menjauhi segala
hal yang dimurkai-Nya. Hasil dari sikap berbakti kepada Allah, akan menempa
setiap orang terlebih pemimpin agar mempunyai sikap keseimbangan dan istiqamah
dalam setiap situasi dan kondisi. Ridha menerima apa yang dapat dicapai,
bersyukur apabila mencapai hasil, dan bersabar menghadapi tantangan demi
tantangan.
Demikianlah 7 macam sifat kepemimpinan islam yang dapat dipetik dari
khutbah khalifah pertama, dan terutama sekali ditujukan kepada yang akan
memegang pimpinan dan juga sedang memegang pimpinan.